Minggu, 25 Mei 2008

Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap LKM

Kenaikan harga BBM telah berdampak luas pada semua sektor yang terkait langsung dengan penggunaan BBM maupun tidak langsung. Salah satu sektor yang akan terbebani akibat kenaikan harga BBM ini adalah sektor keuangan mikro. Lembaga Keuangan Mikro memiliki karakteristik yang berbeda dengan perbankan komersial. Nasabah LKM sebagian besar adalah usaha mikro dan kecil. Karakteristik pinjaman untuk usaha mikro dan kecil adalah nilai pinjamannya yang sangat kecil. Karena nilai pinjamannya sangat kecil maka pegawai bagian kredit sebuah LKM lah yang harus aktif mendatangi UMK baik untuk menawarkan pinjaman atau menagih pinjaman. Biaya operasional LKM sangat besar pada bagian kredit ini. Semakin banyak nasabah LKM, semakin banyak pegawai bagian kredit yang dipekerjakan.
Mengapa UMK tidak mau mendatangi LKM dan harus didatangi oleh pegawai bagian kredit? Alasan utamanya adalah kecilnya nilai pinjaman mereka dan kesibukan mereka dalam berbisnis. Jika untuk membayar angsuran lima puluh ribu rupiah atau seratus ribu rupiah, akan sangat merugikan bagi UMK. Lebih baik waktu yang digunakan untuk datang ke LKM dipakai untuk berbisnis.
Lembaga Keuangan Mikro harus berpikir keras untuk melakukan efisiensi pengeluaran transportasi ujung tombak mereka di lapangan (pegawai bagian kredit). Efisiensi bisa dilakukan dengan melakukan penjadwalan pengawasan dan tagihan kepada nasabah mereka. Apabila efisiensi tidak dapat mengurangi beban biaya transportasi yang meningkat, maka LKM tampaknya akan menggeser beban biaya operasional itu kepada debiturnya. Artinya, LKM akan menaikkan bunga pinjaman mereka. Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan memberikan insentif kepada debitur yang mau membayar langsung ke kantor LKM bersangkutan. Insentif ini dapat berupa diberikannya kupon undian untuk diikutkan undian berhadian yang diselenggarakan oleh LKM tersebut. Masyarakat kita masih sangat senang dengan impian untk mendapatkan hadiah dari sebuah undian. Oleh karena cara ini patut dicoba oleh LKM untuk menekan biaya operasional akibat naiknya harga BBM.

Senin, 19 Mei 2008

Lembaga Keuangan Mikro dan Pembangunan Ekonomi

Arsyad (2006) mengemukakan sifat dan arti penting lembaga keuangan mikro (LKM) dalam pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang (NSB). Bukti-bukti di NSB menunjukkan bahwa LKM telah berkembang tidak hanya sebagai lembaga keuangan saja namun juga sebagai alat pembangunan di dalam mengentaskan kemiskinan. LKM juga berperan penting sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediaries) yang mampu meningkatkan pendalaman finansial (financial deepening) juga mempunyai dampak positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat miskin, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan tabungan masyarakat.
Ada beberapa manfaat LKM yang diidentifikasi oleh Arsyad (2006):
1)Financial intermediaries: penyediaan jasa keuangan, utamanya simpanan dan kredit, juga jasa keuangan lainnya bagi orang miskin dan rumah tangga berpenghasilan rendah yang tidak mempunyai akses ke bank komersial. Ledgerwood (1999) sebagaimana dikutip Arsyad (2006) menyatakan bahwa microfinance mengacu pada penyediaan jasa keuangan (secara umum simpanan dan kredit) bagi klien berpenghasilan rendah, termasuk pekerja perorangan.
2)Social intermediation: seperti formasi kelompok, pembangunan kepercayaan diri, dan pelatihan keuangan serta kapabilitas manajemen anggota dari sebuah kelompok (Bennet, 1998 dan Ledgerwood, 1999 dalam Arsyad, 2006).
3)Pembangunan ekonomi: menurunkan kemiskinan dan mengembangkan kapasitas kelembagaan sistem keuangan lokal melalui menemukan cara untuk meminjamkan uang kepada rumah tangga miskin dengan biaya efektif.
Ada empat hal yang dibahas dalam paper Arsyad (2006), yaitu: 1) hubungan antara pembiayaan dan pembangunan ekonomi, 2) pendekatan LKM bagi pembangunan ekonomi, 3) peran LKM sebagai lembaga perantara keuangan dan hubungannya dengan bank komersial, dan 4) dampak LKM terhadap pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang.
1.Hubungan antara Keuangan dan Pembangunan Ekonomi
Sektor keuangan dan perbankan selama ini telah memainkan peran penting tidak terbatas hanya pergerakan perekonomian business cycle, namun juga pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Banyak studi telah menunjukkan hubungan antara keuangan dan pembangunan ekonomi. Namun demikian, hubungan antara keuangan dan pembangunan ekonomi dipandang sangat complicated dan tidak mudah untuk menggeneralisasinya. Satu pandangan mengatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara pengembangan keuangan dengan pembangunan ekonomi. Sistem keuangan merupakan bagian integral dalam proses pembangunan. Pendalaman finansial menjadi tahapan yang diperlukan untuk menjamin kondisi minimum bagi keberadaan pembangunan. Pandangan lain mengemukakan bahwa tidak ada hubungan langsung antara keuangan dan pembangunan ekonomi. Sektor keuangan hanya penting karena kapasitasnya dalam menciptakan uang dan bukan karena peran spesifiknya dalam perekonomian.

2.Pendekatan LKM bagi Pembangunan Ekonomi
Ada beberapa tujuan dari pembentukan lembaga keuangan mikro (LKM), yaitu: melayani kebutuhan keuangan bagi masyarakat miskin, memberdayakan perempuan dan kelompok masyarakat tidak mampu, menciptakan kesempatan kerja dan peluang penghasilan melalui penciptaan dan ekspansi usaha mikro, dan menurunkan ketergantungan keluarga tani perdesaan melalui diversifikasi usaha mereka. Terdapat beberapa pendekatan LKM bagi pembangunan, khususnya dalam membantu orang miskin atau rumahtangga berpenghasilan rendah melalui akses penyediaan jasa keuangan dengan LKM. Pendekatan pertama disebut pendekatan sistem keuangan atau pendekatan institusionis, dan pendekatan kedua adalah pendekatan pengentasan kemiskinan atau pendekatan welfarist.
Pendekatan sistem keuangan atau institusionis fokusnya pada menciptakan LKM untuk melayani klien yang tidak dilayani oleh sistem keuangan formal (bank komersial). Pendekatan ini menekankan pada self-sufficiency LKM dalam melayani kliennya. Pendekatan welfarist konsentrasinya pada pengentasan kemiskinan melalui kredit dilengkapi dengan pelatihan-pelatihan pendidikan dan ketrampilan. Pendekatan ini lebih eksplisit dalam memperbaiki kesejahteraan kliennya. Pendekatan welfarist dianggap lebih sukses dalam memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi karena peran nyatanya dalam pengentasan kemiskinan.
Di Indonesia, sebagian besar LKM diklasifikasikan sebagai LKM dengan pendekatan institusionis. Contoh LKM dengan pendekatan institusionis di Indonesia antara lain: BRI Unit Desa, BPR, Badan Kredit Kecamatan (BKK), Lembaga Perkreditan Desa (LPKD), Badan Kredit Desa (BKD), dan Badan Usaha Kredit Perdesaan (BUKP). Tujuan utamanya adalah pendalaman finansial dengan memisahkan sistem intermediasi keuangan yang berkelanjutan bagi orang miskin. Adapun contoh LKM dengan pendekatan welfarist antara lain: Kredit Usaha Tani, Kredit Usaha Kecil dan Inpres Desa tertinggal. Program-program tersebut bukan ditujukan bagi tercapainya sustainabilitas kelembagaan keuangan namun lebih ditujukan bagi pengentasan kemiskinan.

3.Peran LKM sebagai Lembaga Perantara Keuangan dan Hubungannya dengan Bank Komersial
Bank komersial dan LKM memiliki peran yang sama, yaitu sebagai lembaga perantara keuangan. Peran LKM lebih spesifik sebagai penyedia jasa keuangan (simpanan dan kredit) khususnya bagi rumahtangga berpendapatan rendah yang tidak mempunyai akses ke bank komersial. Apakah dengan demikian LKM dan bank komersial merupakan substitusi? Masing-masing LKM dan bank komersial mempunyai keunggulan komparatif. Bank komersial dapat menyalurkan pinjaman dalam jumlah yang besar dan jangka waktu relatif lama karena dapat mengumpulkan dana pihak ketiga yang lebih besar dan transformasi maturitas. Pinjaman ke bank komersial lebih ditujukan pada kredit investasi. Bank komersial kurang efisien jika menyalurkan pinjaman mikro dengan jangka waktu pendek. Sebaliknya, LKM memiliki keunggulan dalam penyaluran kredit mikro dan jangka pendek. Kredit mikro ini sifatnya lebih mengarah ke kredit modal kerja. Lembaga Keuangan Mikro juga memiliki fleksibilitas dalam persyaratan kredit, khususnya jaminan. Berdasarkan karakteristiknya masing-masing, LKM dan bank komersial memiliki area pasar yang berbeda. Bank komersial dan LKM dengan dasar tersebut lebih mengarah hubugannya adalah substitusi.
Beberapa studi mengemukakan ternyata, LKM dan bank komersial memiliki hungangan komplementer. Industri skala besar melakukan pinjaman kredit investasi ke bank komersial, dan kredit modal kerja ke LKM. Kredit investasi berdurasi jangka panjang, sehingga lebih tepat pinjam ke bank komersial. Sementara itu, kredit modal kerja berdurasi jangka pendek, sehingga lebih tepat pinjam ke LKM.

4.Dampak LKM terhadap Pembangunan Ekonomi di Negara-Negara sedang Berkembang
Dampak LKM terhadap pembangunan ekonomi dapat diukur dari tiga variabel, yaitu pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan mobilisasi tabungan. Pertama, LKM mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga. Beberapa studi yang dilakukan di negara-negara sedang berkembang menunjukkan hasil yang sama. Dampak LKM terhadap pendapatan rumahtangga atau wirausahawan secara umum positif meskipun besaran kenaikannya beragam. Kredit yang disalurkan LKM pada usaha mikro meningkatkan pendapatan pengusaha mikro yang memanfaatkan kredit tersebut.
Kedua, LKM mampu menciptakan kesempatan kerja. Peran LKM dalam meningkatkan kesempatan kerja sebenarnya lebih pada meningkatnya usaha lama yang dibiayai oleh LKM dan bukan pada usaha baru. Beberapa studi juga mengemukakan hal yang sama, yaitu pada saat bisnis tumbuh. Tumbuhnya bisnis yang dibiayai dengan kredit dari LKM ini meningkatkan penggunaan jumlah tenaga kerja keluarga atau jam kerja pekerja. Studi yang dilakukan di Indonesia bahkan mengemukakan bahwa kredit LKM cenderung mempunyai dampak lebih pada stabilitas pekerjaan dan perbaikan produktivitas tenaga kerja dan bukan menciptakan kesempatan kerja baru. Sementara itu studi di Bangladesh menghasilkan sesuatu yang menarik. Secara keseluruhan kredit Grameen Bank meningkatkan penawaran tenaga kerja wanita namun menurunkan penawaran tenaga kerja laki-laki. Kredit pada wanita meningkatkan penawaran tenaga kerja wanita namun menurunkan penawaran kerja laki-laki, sementara kredit pada laki-laki tidak memiliki pengaruh pada penawaran tenaga kerja wanita.
Ketiga, LKM berhasil melakukan mobilisasi tabungan. Asumsi sebelumnya bahwa rumahtangga perdesaan lebih banyak mengalokasikan pendapatannya untuk konsumsi dan acara seremonial, serta tidak memiliki kapasitas menabung ternyata tidak benar. Beberapa studi di Asia dan Afrika menunjukkan bahwa kapasitas menabung masyarakat perdesaan cukup besar terkait dengan keberadaan pasar keuangan di wilayah tersebut. Studi-studi tersebut juga menunjukkan bahwa LKM sukses dalam memobilisasi tabungan. Sekurang-kurangnya terdapat dua faktor yang mendukung kesuksesan LKM dalam memobilisasi tabungan, yaitu: 1) produk tabungan dan mekanisme tabungan disesuaikan dengan preferensi konsumen; 2) terdapat bukti bahwa lingkungan makroekonomi yang kondusif mendorong suksesnya mobilisasi tabungan oleh LKM.
Dari sudut pandang kelembagaan, mobilisasi tabungan oleh LKM memiliki empat alasan. Pertama, menyediakan sumber pendanaan yang relatif murah untuk dipinjamkan kembali. Kedua, saat ini menjadi penabung, besok bisa menjadi peminjam, sehingga program tabungan menciptakan kumpulan klien alami. Ketiga, peningkatan tabungan memberikan manfaat penting secara langsung bagi rumahtangga dengan pendapatan rendah.
Ada beberapa manfaat mobilisasi tabungan oleh LKM. Pertama, manfaat individual dan usaha. Kedua, manfaat kelompok, organisasi dan kelembagaan. Ketiga, manfaat untuk mengimplementasikan LKM.

5.Benarkah LKM selalu Pro bagi Pengentasan Kemiskinan?
Ada beberapa pertanyaan yang muncul terkait dengan dampak perkembangan LKM dengan pembangunan ekonomi sebagaimana dikemukakan Arsyad (2006). Mengapa lebih banyak LKM diklasifikasikan pendekatan institusionis? Apakah dengan demikian LKM telah berubah dari tujuan utamanya, yaitu menyediakan rumahtangga miskin atau berpenghasilan rendah sumber keuangan yang mudah diakses? Apa bedanya LKM dengan bank komersial jika fungsi LKM sama dengan bank komersial, yaitu hanya sebagai lembaga perantara keuangan dan tidak lagi memiliki fungsi intermediasi sosial? Benarkah LKM pro bagi pengentasan kemiskinan?
Perdebatan mengenai dua kubu pendekatan keuangan mikro yang berbeda, yaitu isntitusionis dan welfarist dibahas lebih mendalam oleh Woller, Dunford, dan Woodworth (1999). Debat tersebut dibahas mereka untuk memecahkan kembali implikasi krusial bagi masa depan keuangan mikro. Pendekatan institusionis menekankan pada financial self-sufficiency dan skala institusional. Pendekatan welfarist menekankan secara langsung dampaknya terhadap pengentasan kemiskinan. Apakah financial self-sufficiency secara umum dapat tercapai? Berbagai studi yang telah dilakukan menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Ketidakberhasilan financial self-sufficiency biasanya dipengaruhi oleh kondisi sosio ekonomi dan terisolasinya masyarakat secara geografis. Tujuan memaksimumkan laba bagi lembaga telah menghambat misi sosial dari LKM. Senantiasa terjadi konflik antara misi sosial dan misi memaksimumkan laba di LKM. Konflik inilah yang menghambat tercapainya financial self-sufficeincy. Demikian juga bukti bahwa LKM mampu membantu mengentaskan kemiskinan masih terlampau awal untuk menyimpulkannya. Sejumlah bukti bahkan menunjukkan ketidakmampuan LKM menjangkau rumahtangga miskin untuk meningkatkan ekonominya. Fakta ini terkait dengan sumberdana yang diperoleh LKM, risiko penyaluran kredit mikro, dan pengelolaan LKM.
LKM sebagai lembaga keuangan yang rasional dihadapkan pada risiko tinggi dalam menyalurkan kreditnya. Tingginya risiko tersebut dikarenakan fleksibilitas persyaratan yang berbeda dengan bank komersial. Pada akhirnya risiko tersebut tercermin dari tingginya suku bunga. Tingginya suku bunga LKM mendorong LKM menyalurkan dananya hanya pada usaha-usaha mikro yang memiliki profit margin tinggi atau rentabilitasnya tinggi. Usaha-usaha dengan profit margin tinggi biasa dijumpai pada sektor perdagangan. Tidak mengherankan jika banyak LKM memiliki klien para pedagang atau beroperasi di pasar. Bahkan Danamon Simpan Pinjam (DSP) membuka kantor di pasar atau dekat pasar supaya lebih mudah dengan kliennya. Sektor pertanian yang marginnya rendah tidak menarik bagi LKM. Siapa lantas yang membantu para petani untuk penyediaan modal usaha tani? Pemerintah dalam hal ini turun tangan dengan mengucurkan berbagai program kredit mikro seperti Kredit Usaha Tani (KUT), BIMAS dan lain-lain. Pemerintah memberikan subsidi para program kredit mikro yang dikucurkannya, sehingga bunga kredit mikro yang dikucurkan pemerintah rendah. Tahun 1970, Bank Rakyat Indonesia Unit diciptakan untuk menerapkan BIMAS, yaitu sebuah program kredit pertanian besar-besaran yang mendapatkan subsidi pemerintah untuk pengolahan padi. Pada umumnya BIMAS memberikan hasil yang negatif bagi para petani, BRI, dan pemerintah. Terdapat beberapa alasan yang saling berkaitan menjelaskan penyebab kegagalan BIMAS (Robinson, 2004):
1)Sasaran-sasaran program yang tidak kompatibel.
2)Suku bunga yang disubsidi mencegah keberlangsungan institusional.
3)BRI tidak diijinkan menyeleksi para peminjam.
4)Kredit terikat berdasarkan jenis-jenis yang telah ditentukan sebelumnya dan jumlah input yang sering kali tidak cocok untuk kondisi lingkungan lokal dan terkadang malah merusak hasil panen.
5)Di banyak daerah, subsidi kredit tersalurkan pada orang-orang yang lebih kaya.
6)Di beberapa daerah, peminjam diseleksi oleh pejabat-pejabat pemerintah demi memenuhi target walaupun tanah peminjam tidak cocok untuk input yang disediakan.
7)Pada beberapa tahun, para petani tidak dapat melunasi pinjaman mereka karena kegagalan panen padi dalam jumlah besar, yang merupakan akibat langsung dari insektisida yang menyebabkan hama menjadi lebih kuat, yang didistribusikan melalui paket BIMAS.
8)Kebijakan pemerintah untuk penjadwalan utang direncanakan dengan buruk dan sering kali penerapannya dirusak oleh praktik korupsi.
9)Struktur organisasional BRI tidak memadai untuk pengawasan BRI Unit yang efektif. Para staf BRI Unit tidak mendapatkan pelatihan yang cukup, digaji rendah, tidak termotivasi, dan biasanya diperlakukan sebagai orang yang terkucil oleh kalangan BRI yang lain.
10)Selain gagal dalam memberikan pinjaman, BRI Unit juga gagal menghimpun simpanan, terutama karena spread suku bunga negatif yang disyaratkan oleh pemerintah.
BIMAS tidak mampu mencapai target-targetnya secara efektif. Program tersebut tidak menjangkau petani miskin secara efektif maupun memberi kontribusi yang signifikan terhadap upaya intensifikasi padi. Tingkat kredit macet BIMAS adalah 54,5 persen.
Kondisi ini membuktikan bahwa tidak selamanya kredit mikro berdampak positif bagi pembangunan. Adakalanya kredit mikro kegagalan karena kesalahan dalam pemilihan target sasaran penerima kredit tersebut. Subsidi pada kredit mikro tidak mendorong adanya insentif bagi LKM untuk sustain baik secara institusional maupun program. Dengan demikian pertanyaan mengapa LKM lebih banyak melakukan pendekatan institusional karena pendekatan ini lebih sustain. Pendekatan istitusional mendorong sustainabilitas LKM dan mengarah ke kredit komersial.
Apa dampaknya bagi rumahtangga miskin atau berpenghasilan rendah jika LKM enggan mengucurkan kreditnya bagi mereka? Mereka akan tetap kesulitan mendapatkan akses sumber keuangan yang murah. LKM enggan mengucurkan dananya pada rumahtangga berpenghasilan rendah ini karena takut risiko kredit macet. LKM dengan demikian lebih memilih pendekatan institusionis. Lantas siapa yang dapat menolong rumahtangga berpenghasilan rendah ini atau mengentaskan mereka dari kemiskinan? Selama ini pemerintahlah yang membantu mereka dengan mengucurkan bantuan seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP).
Melihat kondisi tersebut, tampaknya tidak selamanya benar bahwa LKM pro bagi pengentasan kemiskinan jika orientasi LKM masih pada sebatas fungsi sebagai lembaga perantara keuangan. LKM tidak lagi memiliki manfaat sebagai lembaga perantara sosial dan peran LKM dalam pembangunan ekonomi khsususnya pengentasan kemiskinan dapat dipertanyakan kembali. Klaim bahwa LKM mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga perlu dicermati lebih dalam. LKM selama ini karena bunganya tinggi lebih suka menyalurkan pada usaha profit margin tinggi, diantaranya adalah sektor perdagangan. Dengan demikian tidak mengherankan jika LKM diklaim mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga. Namun perlu ditambahi catatan yaitu rumahtangga yang memang telah mempunyai usaha mikro dengan profit margin tinggi atau rentabilitas tinggi. Bagaimana dengan rumahtangga miskin yang belum memiliki usaha atau usahanya memiliki rentabilitas rendah? Maukah LKM menjamah mereka? Mampukah LKM mengentaskan mereka dari kemiskinan?
Sebenarnya, ada beberapa manfaat kredit mikro bagi pengentasan kemiskinan. Asian Development Bank (ADB) telah mengidentifikasi beberapa manfaat kredit mikro bagi pengentasan kemiskinan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1. Dalam beberapa kesempatan selalu disampaikan manfaat kedit mikro dalam memutus mata rantai kemiskinan. Studi di Bangladesh menunjukkan hasil yang positif, dimana LKM secara`positif meningkatkan pendapatan rumahtangga. Penilaian ADB terhadap tujuh proyek keuangan mikronya menunjukkan hasil yang berbeda, proyek-proyek tersebut gagal untuk membuat kontribusi yang signifikan bagi pengentasan kemiskinan. Beberapa proyek mempunyai dampak positif yang kecil, namun tidak ada mekanisme yang berkelanjutan bagi periode proyek selanjutnya. Pengentasan kemiskinan memerlukan akses terhadap sumber pelayanan keuangan yang berkelanjutan, tidak hanya sekali akses (ADB, 2000).
LKM dikemukakan dalam papernya Arsyad (2006) mampu melakukan mobilisasi tabungan. Klaim ini juga perlu dicermati lebih mendalam, karena terdapat beberapa jenis LKM. LKM selama ini dapat dikelompokkan dalam LKM bank dan non-bank. LKM bank adalah bank-bank komersial yang salah satu unit usahanya adalah turut menyalurkan kredit mikro. Contoh LKM jenis ini adalah Bank Perkreditan Rakyat, BRI Unit Desa, Danamon Simpan Pinjam dan lainnya. Sedangkan LKM non-bank terdiri dari LKM berbadan hukum koperasi dan non-koperasi. Dalam kenyataan, LKM non-bank masih kalah jauh dalam memobilisasi tabungan masyarakat dibandingkan LKM bank. Masyarakat tampaknya masih merasa lebih aman menyimpan dananya di bank (termasuk LKM bank) karena dijamin oleh pemerintah. Berbeda dengan LKM non bank yang tidak dijamin oleh pemerintah. Kondisi infrastruktur dan kelembagaan LKM bank dan LKM non-bank juga berbeda jauh. LKM bank lebih baik infrastrukturnya dan lebih terjaga daripada LKM non-bank. Kondisi saat ini antara LKM dan bank komersial sudah mengarah ke persaingan. Fakta ini kurang disinggung dalam papernya Arsyad (2006) yang hanya menyinggung hubungan LKM dan bank komersial sebatas substitusi atau komplementer. Bank komersial banyak yang telah membuka unit mikro (mikrobanking) untuk melayani segmen usaha mikro. Di Indonesia dapat dilihat dari keberadaan BRI Unit Desa dan Danamon Simpan Pinjam, serta bank-bank komersial lainnya yang membuka unit mikrobanking.
Secara umum bank-bank komersial yang membuka unit mikro ini mendominasi kedit mikro. Lebih dari 50 persen pinjaman disalurkan oleh LKM bank seperti BPR dan BRI Unit. Peran LKM non-bank sebagai lembaga perantara keuangan masih kalah dominan dengan bank komersial yang membuka unit mikro. Dominannya LKM bank ini tidaklah mengherankan karena kapasitas mereka lebih besar dari LKM non bank dalam menyalurkan kredit mikro.
6. Penutup
Dampak LKM terhadap pembangunan ekonomi berdasarkan bukti-bukti yang ada sangat beragam. Keberhasilan LKM dalam membantu pengentasan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja dan mobilisasi tabungan belum sepenuhnya berhasil. Meskipun demikian LKM mampu meningkatkan pendalaman finansial bagi masyarakat perdesaan pada khususnya. Masyarakat perdesaan sekarang lebih mengenal sistem keuangan dan perbankan. Ada dilema bagi LKM antara memaksimumkan profit dengan misi sosial. Keberlanjutan LKM dapat dicapai dengan mengarahkan LKM menuju kredit komersial dan financial self-sufficiency. Namun tuntutan sosial terhadap LKM tidak pernah hilang. Subsidi pemerintah pada satu sisi membantu LKM dalam menjalankan misi sosial, namun di sisi lain menghambat sustainabilitas LKM dan financial self-sufficiency. Perlu strategi pengembangan LKM yang tepat untuk memisahkan antara LKM sebagai entitas bisnis dan entitas sosial. Selama LKM terbebani terus menerus dengan misi sosial, perkembangan LKM menuju LKM yang sustain akan terhambat.


Referensi

Arsyad, Lincolin, “An Assessment of Performance and Sustainability of Microfinance Institution: A Case Study of Village Credit Institutions in Gianyar, Bali, Indonesia”. Thesis Submitted for the Degree of Doctor of Philosophy, Faculty of Social Sciences, Flinders University, Adelaide, Australia, 2005

_______________, “Microfinance Institutions and Economic Development, Evidence from Developing Countries”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 21, No. 3, pp. 236-253, 2006.

Asian Development Bank, Finance for the Poor: Microfinance Development Strategy, 2000.

Fernando, Nimal A., Understanding and Dealing with High Interest Rates on Microcredit, A Note to Policy Makers in the Asia and Pacific Region. Asian Development Bank, May 2006.

Ismawan, Bambang dan Setyo Budiantoro, “Mapping Microfinance in Indonesia”, Jurnal Ekonomi Rakyat, Edisi Maret, 2005.

Khandker, Shahid, ”Does Micro-finance Really Benefit the Poor? Evidence from Bangladesh”. Presented in Asia and Pacific Forum on Poverty: Reforming Policies and Institution for Poverty Reduction, Asian Development Bank, Manila. 5-9 February 2001.

Robinson, Marguerite S., Revolusi Keuangan Mikro. Volume 2: Pelajaran dari Indonesia. Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2004.

Wahyudin, Didin, “Key Succes Factors in Microfinancing”, Paper pada Diskusi Panel Microfinance Revolution: Future Perspective for Indonesian Market, 7 Desember 2004.

Wooler, Gary M., Christopher Dunford, and Warner Woodworth, “Where to Microfinance?” Published in International Journal of Economic Development, Vol. 1, No. 1, pp. 29-64, 1999.

Bagaimana Lembaga Keuangan Mikro Menghadapi Risiko dan Ketidakpastian

Pendahuluan
Lembaga keuangan mikro (LKM) merupakan sebuah fenomena yang kompleks, tidak hanya dimensi ekonomi namun juga dimensi sosial budaya. LKM memiliki sifat dinamis, inovatif dan fleksibel yang disesuaikan dengan lingkungan sosial ekonomi setempat. Salah satu karakteristik penting dari pasar kredit mikro di negara-negara sedang berkembang adalah tingginya derajat ketidaksempurnaan informasi yang pada gilirannya menyebabkan tingginya risiko dan ketidakpastian. LKM yang dihadapkan pada tingginya risiko dan ketidakpastian harus mampu mengelola risiko tersebut dengan baik untuk tetap eksis dan berkembang. Ada beberapa praktik pengelolaan risiko yang diungkapkan oleh Arsyad (2006). Paper Arsyad (2006) mengemukakan tiga hal, yaitu: 1) definisi dan karakteristik LKM, 2) ketidaksempurnaan informasi dan pasar kredit, dan 3) institusi dan risiko kredit.

Definisi dan Karakteristik LKM
Kredit mikro secara umum mengacu pada penyediaan jasa keuangan, seperti tabungan dan kredit serta jasa keuangan lainnya, ditujukan bagi rumahtangga miskin dan berpendapatan rendah yang tidak mempunyai akses ke bank komersial (Arsyad, 2006). Menurut Ledgerwood (1999), istilah kredit mikro mengacu pada penyediaan jasa keuangan (secara umum tabungan dan kredit) bagi klien berpendapatan rendah. Klien yang dimaksud adalah pedagang, pedagang kaki lima, petani kecil, penyedia jasa, tukang dan produsen kecil seperti pande besi dan penjahit wanita.
Menurut definisi yang dipakai dalam Microcredit Summit (1997), kredit mikro adalah program pemberian kredit berjumlah kecil pada warga paling miskin untuk membiayai proyek yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya. Sedangkan Bank Indonesia mendefinisikan kredit mikro merupakan kredit yang diberikan pada para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai hasil penjualan paling banyak seratus juta rupiah per tahun.
Lembaga yang terkait dalam penyaluran kredit mikro umumnya disebut Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Menurut Asian Development Bank (ADB), lembaga keuangan mikro (microfinance) adalah lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan (deposits), kredit (loans), pembayaran berbagai transaksi jasa (payment services) serta transfer uang (money transfers) yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil. Layanan lembaga keuangan mikro dapat disediakan melalui tiga macam, yaitu: 1) lembaga formal, seperti bank desa dan koperasi; 2) lembaga semiformal, seperti organisasi nonpemerintah; 3) lembaga informal (ADB, 2006).
Sedangkan menurut CGAP World Bank, lembaga keuangan mikro adalah provisi layanan perbankan bagi orang berpendapatan rendah, khususnya orang miskin dan sangat miskin. Definisi LKM sendiri memiliki arti yang beragam antar negara. Istilah microfinance sering diartikan lebih sempit, mengacu khusus pada microcredit bagi usaha informal dari microentrepreneur.
Dalam kenyataan, beberapa LKM menyediakan intermediasi sosial seperti pengembangan kelompok, pengembanan kepercayaan diri, pelatihan keuangan dan manajemen pada sebuah kelompok yang berpendapatan rendah. Kelompok dengan berpendapatan rendah ini menghadapi penghalang yang kuat dalam mengakses lembaga-lembaga keuangan. Ketrampilan kelompok ini harus ditingkatkan supaya bisa mendapatkan kredit.
LKM secara umum bersifat dinamis, inovatif dan fleksibel dalam mengatasi lingkungan ekonomi dan sosial. Fleksibilitas LKM dimungkinkan karena terbatasnya regulasi, ukurannya yang kecil dan beroperasi pada wilayah atau pasar spesifik. Jenis-jenis transaksi yang terjadi di LKM relatif kecil dan mempunyai jangka waktu yang pendek. Hubungan personal atau keintiman kelembagaan lebih menonjol dalam transaksi di LKM. Suku bunga yang ditetapkan oleh LKM berorientasi pasar dan mencakup biaya operasional dan keuangan.
Biaya-biaya transaksi yang muncul di LKM relatif lebih rendah dibandingkan bank komersial. Rendahnya biaya transaksi ini disebabkan karena: 1) LKM dipandang mengenal klien mereka lebih baik daripada bank komersial, 2) biaya administratif LKM lebih rendah daripada bank komersial karena pegawainya dibayar rendah dan pekerjaannya lebih sederhana dibandingkan bank komersial, 3) tingkat suku bunga LKM tidak diatur dan dapat disesuaikan sesuai mekanisme pasar, 4) LKM tidak memiliki kendala cadangan minimum yang dibebankan pada bank modern.

Ketidaksempurnaan Informasi dan Pasar Kredit
Sebagian terbesar LKM melayani kredit mikro di perdesaan dengan klien terbesar rumahtangga miskin yang sering tidak mempunyai agunan. Mekanisme kredit LKM sederhana, cepat dan fleksibel yang disusun sesuai kondisi lingkungan sosial ekonomi masyarakat dimana LKM berada. Mekanisme tersebut disusun dengan tujuan untuk mengurangi risiko kredit yang dapat berdampak pada kinerja keuangan dan keberlangsungan LKM.
Di dalam pasar kredit, idealnya kredit diperdagangkan melalui pasar yang kompetitif dimana kekuatan permintaan dan penawaran berinteraksi dan bunga ditentukan oleh permintaan dan penawaran kredit. Apabila tidak ada eksternalitas, pasar kompetitif cenderung mencapai keadaan keseimbangan. Besley (1994) mengemukakan bahwa pertukaran (Pareto improvements) akan terjadi di pasar hingga keseimbangan akhir dicapai. Ketika semua Pareto improvements telah dibuat, pasar dikatakan telah mencapai Pareto optimum, dimana efisiensi maksimum terwujud. Pareto optimum adalah situasi dimana tidak memungkinkan bagi seseorang untuk menjadi lebih baik tanpa membuat orang lain menjadi lebih buruk. Dalam kasus pasar kredit, semua peminjam akan memperoleh pinjaman yang mereka cari pada sebuah harga yang berhubungan dengan situasi permintaan/penawaran saat itu. Kompetisi harus dilakukan untuk mencapai optimum, sehingga intervensi eksternal tidak diperlukan.
Pasar kredit menyimpang dari pasar yang ideal karena adanya informasi yang tidak sempurna (imperfect information). Kekhususan pasar kredit telah mendorong ekonom untuk merubah paradigma pasar kompetitif. Pasar kredit dikatakan secara struktural pasar persaingan tidak sempurna (imperfect market). Ketidaksempurnaan pasar tersebut berasal dari kondisi alamiah barang yang diperdagangkan di pasar kredit. Kredit merupakan barang khusus karena memerlukan pembayaran kembali pada sebuah jangka waktu lama. Kemauan pemilik dana untuk meminjamkan pada peminjam tertentu membutuhkan informasi yang cukup dan reliable bahwa si peminjam akan menggunakan dana yang dipinjamnya dengan bijaksana. Supplier dan peminjam di pasar kredit ini tidak memiliki informasi yang sama, yang menciptakan ketidakseimbangan antara dua jenis pelaku tersebut.
Meskipun pasar kredit imperfect, pasar tersebut masih mencapai standar efisiensi yang lebih rendah dari efisiensi Pareto. Kondisi ini menjelaskan mengapa penawaran kredit tidak pernah bertemu dengan semua permintaan kredit. Dengan kata lain, keberadaan imperfect information menjelaskan mengapa pemilik dana (lenders) memilih tidak melayani beberapa individu. Konsep imperfect market tersebut merupakan dampak dari adanya asymmetric information, moral hazard, adverse selection dan credit rationing.
Asymmetric information mengacu pada situasi dimana satu pihak yang bertransaksi memiliki informasi lebih banyak dari pada pihak lainnya. Situasi ini dapat menyebabkan pasar terdeviasi dari perilaku umum, akan mendorong moral hazard dan adverse selection. Moral hazard terjadi ketika satu pihak, dikenal sebagai principal, melakukan sebuah kontrak dengan lainnya, dikenal sebagai agent, yang memiliki beberapa tingkat otonomi melebihi kegiatan-kegiatannya yang tidak dapat dimonitor secara sempurna oleh principal. Kegiatan-kegiatan ini mempengaruhi hasil bagi keduanya baik principal maupun agent dan preferensi mereka berbeda sehingga ada tingkat konflik antar kedua belah pihak. Principal ingin mengingkari kontrak yang akan mengakibatkan agen mengambil tindakan, yang tidak dapat dimonitor secara penuh oleh principal, sebagaimana yang diinginkan principal. Solusi untuk munculnya masalah moral hazard adalah dengan memberikan insentif, yaitu menyusun transaksi sedemikian rupa sehingga pihak yang mengambil tindakan tersebut bersedia melakukan tindakan yang akan mengakibatkan pihak kedua menjadi lebih baik.
Aplikasi ide dasar ini dalam pasar kredit berikut ini. Nyatakan bank sebagai prinsipal dan peminjam sebagai agent. Jika tingkat bunga yang ditetapkan pada sebuah pinjaman mempengaruhi perilaku dari peminjam, maka bank memilih untuk menetapkan sebuah tingkat bunga yang tidak jelas pada pasar kredit. Sehingga bank memilih tingkat bunga secara parsial untuk mempengaruhi perilaku peminjam yang tak teramati dan digunakan pada pinjaman tersebut. Jika tingkat bunga yang lebih tinggi mendorong peminjam tidak mengambil pinjaman bagi pembiayaan investasi untuk menginvestasikan pada proyek-proyek yang lebih berisiko bisa tampak, maka bank bisa mempunyai insentif untuk menetapkan sekurang-kurangnya tingkat bunga pasar supaya investasi pada proyek tersebut berkurang risikonya.
Adverse selection dikembangkan oleh Akerlof (1970) dalam artikelnya yang terkenal ”The Market for Lemons: Quality Uncertainty and the Market Mechanism”, yang menganalisis sebuah pasar mobil bekas. Masalah adverse selection terjadi di dalam pasar yang produknya memiliki kualitas berbeda dijual pada pembeli yang karena asymmetric information, tidak dapat mengamati kualitas produk yang mereka beli. Pada pasar mobil bekas, penjual dapat mengetahui kualitas mobil yang ditawarkan, sedangkan pembeli tidak. Ketika pembeli tidak dapat mengenali berbagai mobil bekas antara yang baik dan buruk, yang di Amerika dikenal dengan istilah ”lemons”, penjual yang mengetahui kualitas dari setiap mobil bekasnya dapat menawarkan ”lemons” pada harga yang sama dengan mobil yang berkualitas bagus. Solusi bagi masalah adverse selection ini adalah market signaling, dimana pihak yang memiliki posisi informasi superior memberikan signal apa yang dia ketahui melalui tindakannya.
Keberadaan adverse selection dan moral hazard di pasar kredit mendorong terjadinya credit rationing. Kebijakan credit rationing yang optimal menurut Jaffee dan Russel (1976) sebagaimana dikutip Arsyad (2006) bergantung pada proporsi kejujuran peminjam karena masalah adverse selection.
Adverse selection dapat berpengaruh pada tingkat bunga sebagaimana diungkapkan oleh Stiglitz & Weiss (1981) dalam Arsyad (2006). Bank bisa menetapkan tingkat suku bunga untuk mengimbangi risiko yang disebabkan oleh adanya asymmetric information (peminjam lebih mengetahui tentang penggunaan dana dan kemauan membayarnya daripada bank). Tingkat suku bunga yang lebih tinggi meningkatkan returns untuk pinjaman yang sukses, rendahnya rata-rata risiko pinjaman karena peminjam memilih tidak meminjam pada tingkat bunga yang lebih tinggi. Tingginya tingkat suku bunga karena adanya adverse selection dan moral hazard akan menyebabkan tingkat bunga pasar tidak optimal, sehingga mendorong credit rationing.
Berbeda dengan Stiglitz & Weiss, Bester (1985) dalam Arsyad (2006) menyatakan bahwa credit rationing bukanlah sesuatu yang diperlukan dalam kondisi keseimbangan jika bank dapat berkompetisi melalui kontrak-kontrak dengan agunan dan tingkat bunga berbeda. Seleksi yang sempurna diperoleh ketika peminjam dengan risiko tinggi memilih kontrak dengan tingkat bunga lebih tinggi dan agunan lebih rendah. Hasil ini mengasumsikan bahwa peminjam tidak dibatasi oleh jumlah agunan yang dapat mereka sediakan.
Baverman & Guasch sebagaimana dikutip oleh Arsyad (2006) mengkritisi pandangan mengenai tidak perlunya credit rationing. Keduanya menyatakan secara khusus bahwa credit rationing akan tetap ada di pasar kredit perdesaan riil dan ada sebuah kendala riil di pasar tersebut. Bukti-bukti yang dikumpulkan mengindikasikan bahwa penjaminan pinjaman melalui agunan sering tidak feasible di daerah perdesaan. Masalah adverse selection dan moral hazard di LKM tidaklah terlampau berat dibandingkan bank komersial. Kondisi ini disebabkan karena LKM memiliki ketersediaan informasi yang lebih mudah, lebih akurat dan lebih luas dibandingkan bank komersial.
Hubungan antara ketidaksempurnaan informasi dan pasar kredit perdesaan diungkapkan oleh Hoff & Stiglitz (1990) dalam Arsyad (2006). Mereka mencatat bahwa pasar kredit perdesaan berdasarkan pada tiga observasi berikut. Pertama, peminjam berbeda dalam kemungkinannya bahwa mereka akan default, dan mahal untuk menentukan tingkat risiko bagi masing-masing peminjam. Ini dikenal sebagai screening problem. Kedua, mahal untuk memastikan bahwa peminjam mengambil tindakan yang membuat kemungkinan terbesarnya adalah mengembalikan pinjaman. Ini merupakan incentice problem. Ketiga, sulit untuk memaksa pembayaran kembali pinjaman. Ini merupakan enforcement problem. Hoff & Stiglitz mengemukakan dua mekanisme untuk memecahkan ketiga masalah di atas. Pertama, mekanisme tidak langsung pada desain kontrak lenders sedemikian rupa sehingga ketika seorang peminjam merespon kontrak tersebut dalam keadaan bunga terbaik bagi dirinya, lenders memperoleh informasi mengenai tingkat risiko peminjam dan membujuknya untuk melakukan tindakan menurunkan kemungkinan default dan membayar kembali pinjamannya kapanpun dia punya sumberdaya untuk mengembalikannya. Kedua, mekanisme langsung terhadap pengeluaran sumberdaya lenders untuk menyaring orang yang mengajukan pinjaman dan enforce pinjaman.
Besley (1994) sebagaimana dikemukakan dalam papernya Arsyad (2006) mencatat terdapat tiga ciri pasar kredit perdesaan. Pertama, kelangkaan agunan. Kedua, kurang berkembangnya institusi pendukung. Ketiga, covariant risk dan pasar yang tersegmentasi.
Berdasarkan berbagai hasil studi, terdapat empat faktor terpenting yang mempengaruhi alokasi kredit, khususnya di pasar kredit perdesaan. Pertama, kurangnya agunan pada pihak peminjam karena terbatasnya kekayaan peminjam. Kedua, masalah adverse selection. Ketiga, masalah moral hazard. Keempat, tidak cukupnya jumlah instrumen untuk masalah-masalah penyaringan dan pelaksanaan.

Institusi dan Risiko Kredit
North sebagaimana dikutip Arsyad (2006) mendefinisikan institusi sebagai rule of the game dalam sebuah masyarakat. Institusi dapat didefinisikan sebagai rules atau prosedur yang membentuk bagaimana pelaku (orang) berinteraksi dan bergorganisasi mengimplementasikan rules dan kode etik untuk mencapai hasil yang diinginkan. Institusi mencakup hukum, regulasi formal (pemerintah), budaya, konvensi, norma sosial, dan kode etik masing-masing. Institusi penting karena menyediakan sebuah struktur kehidupan sehari-hari dengan mendefiniskan dan membatasi sekelompok pilihan individu dan organisasi. Lingkungan institusional didefinisikan sebagai sekelompok fundamental politik, sosial, dan aturan dasar legal yang menetapkan basis produksi, pertukaran, dan distribusi.
Institusi diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu formal dan informal. Institusi formal memasukkan aturan tertulis ke dalam hukum (undang-undang) dan peraturan pemerintah, aturan yang dikodifikasi dan diadopsi oleh institusi swasta, organisasi publik dan swasta beroperasi di bawah hukum publik. Institusi informal, sering beroperasi di luar sistem legal formal, merefleksikan peraturan perilaku sosial tak tertulis semisal norma sosial, sanksi, dan menggunakan mekanisme sosial untuk menilai kelayakan kredit berdasarkan pada reputasi pihak-pihak yang dilibatkan. Dalam situasi dimana institusi formal gagal, institusi informal akan memainkan peran untuk menurunkan ketidakpastian (uncertainty) dan menyediakan kepastian bagi individu dan organisasi. Sebaliknya ketika institusi informal gagal, institusi formal akan memainkan peran mereka. Kemungkinan lainnya adalah adnaya integrasi antara institusi formal dan institusi informal. Bank Dunia menyatakan bahwa membangun jembatan antara institusi formal dan institusi informal merupakan cara efektif meningkatkan kesuksesan institusi formal.
Institusi mempengaruhi pembuatan keputusan individual dengan signalling yang pilihannya dapat diterima dan menentukan norma dan perilaku yang disosialisasikan dalam masyarakat tertentu. Institusi juga mempengaruhi kegiatan organisasi dengan pembatasan kegiatan yang dapat diterima dan didukung dalam lingkungan tersebut. Terdapat banyak studi yang mendiskusikan pengaruh isntitusi baik formal maupun informal pada kinerja dan keberlangsungan entitas ekonomi/bisnis atau perusahaan. Terdapat bukti kuat menyatakan bahwa kesuksesan dan keberlangsungan perusahaan, termasuk LKM, sangat dipengaruhi oleh lingkungan kelembagaan mereka baik institusi formal maupun institusi informal.
Negara-negara sedang berkembang di pasar kreditnya telah mengembangkan institusi non-pasar (institusi informal) untuk mengatasi risiko dan menyediakan kredit. Besley (1995) dalam Arsyad (2006) menggunakan kata institusi non-pasar untuk menyebut berbagai mikrokredit seperti koperasi simpan pinjam, kredit informal, dan asosiasi simpan pinjam. Institusi informal cenderung mengekspolitasi keunggulan komparatif dalam memonitor dan membandingkan kapasitas penyediaan jasanya dengan institusi formal. Keunggulan komparatif dari institusi informal terletak pada kemampuannya yang lebih baik dalam memonitor kliennya daripada institusi keuangan formal seperti bank. Institusi formal dapat mengenal dengan baik individu-individu yang saling berinteraksi di berbagai konteks non-pasar. Hal inilah yang mampu menjelaskan mengapa institusi non-pasar berfungsi lebih efektif ketika institusi formal gagal.
Beberapa LKM menggunakan tenaga lokal yang mengerti karakteristik daerah tersebut sebagai salah satu pegawainya untuk melakukan seleksi terhadap calon nasabah LKM tersebut. Penggunaan tenaga lokal ini untuk meminimumkan risiko ketidaktahuan informasi mengenai calon peminjam. Mekanisme ini membantu mitigasi informasi yang dapat meningkatkan kinerja LKM ketika membiayai rumahtangga berpendapatan rendah di perdesaan dan perkotaan. Ada berbagai cara terkait dengan penggunaan tenaga lokal ini. Ada LKM yang menggunakan pimpinan kelompok tani, kepala desa dan tokoh setempat lainnya sebagai tenaga lokal yang direkrut untuk melakukan tugas menyeleksi pinjaman dari calon nasabah ke LKM. Di beberapa negara peran ”broker” ini sangat penting dalam mendukung keberhasilan penyaluran kredit dan penagihannya oleh LKM. Di Indonesia, beberapa LKM seperti Badan Kredit Kecamatan (BKK) dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) telah menggunakan tenaga lokal ini untuk mendukung operasional mereka. Teknik ini disebut juga sebagai pinjaman berdasarkan karakter (character-based lending). Teknik ini sangat unggul dan murah biayanya karena informasi lokal mengenai peminjam merupakan sebuah sunk cost. Agen lokal mampu memperoleh informasi dengan biaya lebih murah dibandingkan ”outsiders” karena mereka lebih mengenal daerahnya.
Keunggulan kompetitif institusi informal terkait dengan penegakan aturan dalam institusi (enforcement) ada dua. Pertama, skope sanksi. Di dalam sebagian besar struktur sosial, mekanisme kontrol sosial eksis untuk membatasi perilaku yang antisosial. Individu yang tidak menepati janjinya dapat dihukum meskipun tidak ada kontrak tertulis. Kedua, kedalaman sanksi. Di banyak negara berkembang terdapat sanksi sosial terkait dengan norma budaya setempat. Sanksi sosial dan norma budaya mempunyai pengaruh cukup signifikan dalam mempengaruhi kinerja dan keberlangsungan LKM, khususnya pada tingkat pengembalian pinjaman.

Cara untuk Mengurangi Risiko dan Ketidakpastian yang Dihadapi LKM
Arcand dan Faye (2001) dalam sebuah penelitiannya di Senegal mengungkapkan adalanya masalah adverse selection yang serius dihadapi oleh pemilik dana (lenders). Reputasi ditunjukkan oleh keduanya memainkan peran penting dalam menentukan tingkat suku bunga dan jumlah kredit yang dikucurkan ke peminjam. Melalui reputasi yang dikenalinya, lenders dapat menyesuaikan transfer mereka ke peminjam. Melalui bukti-bukti empiris Arcand dan Faye menunjukkan bahwa salah satu cara untuk mengurangi risiko dan ketidakpastian yang dihadapi LKM adalah dengan mengetahui reputasi dari peminjamnya.
Perkembangan informasi dan teknologi saat ini dapat dimanfaatkan untuk mengetahui reputasi/karakter peminjam untuk mengurangi risiko dan ketidakpastian yang dihadapi oleh LKM. Salah satunya adalah dengan mengadopsi sistem penyaringan calon nasabah yang valid dan reliable untuk mengurangi risiko peminjam mengalami default. Salah satu metode yang sudah banyak digunakan di Amerika dan mulai diadopsi di Asia adalah metode skoring. Skoring adalah sebuah alat matematis yang dipergunakan untuk memprediksikan kualitas dari sebuah pinjaman berdasarkan pada analisa statistika dari ribuan nasabah peminjam, yang baik dan yang tidak baik di masa lalu. Tujuan dari evaluasi ini adalah menemukan karakteristik signifikan kelompok peminjam yang dapat dipercaya dari yang tidak dapat dipercaya. Teknologi skoring adalah jawaban atas permintaan yang tinggi terhadap ketersediaan pinjaman yang terbatas.
Sebagaimana telah diuraikan di muka, kualitas pinjaman-pinjaman di masa mendatang yang diperuntukkan bagi usaha mikro sangat tergantung dari karakter atau skor kepribadian diri peminjam. Metode skoring mampu melakukan hal ini karena dalam prosesnya juga mengikutsertakan pengolahan data pribadi peminjam atau karakter peminjam. Secara umum akan dapat dikenali karakter-karakter yang probabilitasnya tinggi akan membayar kembali pinjamannya dan tidak dapat membayar kembali pinjamannya.

Daftar Pustaka

Arcand, Jean-Louis and Issa Faye (2001), “Reputation and Adverse Selection: Evidence from Rural Micro-Credit Markets in Senegal”. Paper in the Frankfurt Seminar on New Development Finance and the Heidelberg Workshop of Theoritical and Empirical Research in Microfinance.

Arsyad, Lincolin (2006), ”How Do Microfinance Institutions Cope With Risk and Uncertainty? A Literature Survey”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 21, No. 1. Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Asian Development Bank (2000), Finance for the Poor: Microfinance Development Strategy.

Christen, Robert Peck, Timothy R. Lyman, and Richard Rosenberg (2003), Microfinance Consensus Guidelines. Guiding Principles on Regulation and Supervision of Microfinance. CGAP The World Bank Group.

Kreps, David M. (1990), A Course in Microeconomic Theory. Princeton University Press.

Ledgerwood, Joanna (1999), Microfinance Handbook: An Institutional and Financial Perspektive. The World Bank.