Senin, 19 Mei 2008

Lembaga Keuangan Mikro dan Pembangunan Ekonomi

Arsyad (2006) mengemukakan sifat dan arti penting lembaga keuangan mikro (LKM) dalam pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang (NSB). Bukti-bukti di NSB menunjukkan bahwa LKM telah berkembang tidak hanya sebagai lembaga keuangan saja namun juga sebagai alat pembangunan di dalam mengentaskan kemiskinan. LKM juga berperan penting sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediaries) yang mampu meningkatkan pendalaman finansial (financial deepening) juga mempunyai dampak positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat miskin, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan tabungan masyarakat.
Ada beberapa manfaat LKM yang diidentifikasi oleh Arsyad (2006):
1)Financial intermediaries: penyediaan jasa keuangan, utamanya simpanan dan kredit, juga jasa keuangan lainnya bagi orang miskin dan rumah tangga berpenghasilan rendah yang tidak mempunyai akses ke bank komersial. Ledgerwood (1999) sebagaimana dikutip Arsyad (2006) menyatakan bahwa microfinance mengacu pada penyediaan jasa keuangan (secara umum simpanan dan kredit) bagi klien berpenghasilan rendah, termasuk pekerja perorangan.
2)Social intermediation: seperti formasi kelompok, pembangunan kepercayaan diri, dan pelatihan keuangan serta kapabilitas manajemen anggota dari sebuah kelompok (Bennet, 1998 dan Ledgerwood, 1999 dalam Arsyad, 2006).
3)Pembangunan ekonomi: menurunkan kemiskinan dan mengembangkan kapasitas kelembagaan sistem keuangan lokal melalui menemukan cara untuk meminjamkan uang kepada rumah tangga miskin dengan biaya efektif.
Ada empat hal yang dibahas dalam paper Arsyad (2006), yaitu: 1) hubungan antara pembiayaan dan pembangunan ekonomi, 2) pendekatan LKM bagi pembangunan ekonomi, 3) peran LKM sebagai lembaga perantara keuangan dan hubungannya dengan bank komersial, dan 4) dampak LKM terhadap pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang.
1.Hubungan antara Keuangan dan Pembangunan Ekonomi
Sektor keuangan dan perbankan selama ini telah memainkan peran penting tidak terbatas hanya pergerakan perekonomian business cycle, namun juga pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Banyak studi telah menunjukkan hubungan antara keuangan dan pembangunan ekonomi. Namun demikian, hubungan antara keuangan dan pembangunan ekonomi dipandang sangat complicated dan tidak mudah untuk menggeneralisasinya. Satu pandangan mengatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara pengembangan keuangan dengan pembangunan ekonomi. Sistem keuangan merupakan bagian integral dalam proses pembangunan. Pendalaman finansial menjadi tahapan yang diperlukan untuk menjamin kondisi minimum bagi keberadaan pembangunan. Pandangan lain mengemukakan bahwa tidak ada hubungan langsung antara keuangan dan pembangunan ekonomi. Sektor keuangan hanya penting karena kapasitasnya dalam menciptakan uang dan bukan karena peran spesifiknya dalam perekonomian.

2.Pendekatan LKM bagi Pembangunan Ekonomi
Ada beberapa tujuan dari pembentukan lembaga keuangan mikro (LKM), yaitu: melayani kebutuhan keuangan bagi masyarakat miskin, memberdayakan perempuan dan kelompok masyarakat tidak mampu, menciptakan kesempatan kerja dan peluang penghasilan melalui penciptaan dan ekspansi usaha mikro, dan menurunkan ketergantungan keluarga tani perdesaan melalui diversifikasi usaha mereka. Terdapat beberapa pendekatan LKM bagi pembangunan, khususnya dalam membantu orang miskin atau rumahtangga berpenghasilan rendah melalui akses penyediaan jasa keuangan dengan LKM. Pendekatan pertama disebut pendekatan sistem keuangan atau pendekatan institusionis, dan pendekatan kedua adalah pendekatan pengentasan kemiskinan atau pendekatan welfarist.
Pendekatan sistem keuangan atau institusionis fokusnya pada menciptakan LKM untuk melayani klien yang tidak dilayani oleh sistem keuangan formal (bank komersial). Pendekatan ini menekankan pada self-sufficiency LKM dalam melayani kliennya. Pendekatan welfarist konsentrasinya pada pengentasan kemiskinan melalui kredit dilengkapi dengan pelatihan-pelatihan pendidikan dan ketrampilan. Pendekatan ini lebih eksplisit dalam memperbaiki kesejahteraan kliennya. Pendekatan welfarist dianggap lebih sukses dalam memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi karena peran nyatanya dalam pengentasan kemiskinan.
Di Indonesia, sebagian besar LKM diklasifikasikan sebagai LKM dengan pendekatan institusionis. Contoh LKM dengan pendekatan institusionis di Indonesia antara lain: BRI Unit Desa, BPR, Badan Kredit Kecamatan (BKK), Lembaga Perkreditan Desa (LPKD), Badan Kredit Desa (BKD), dan Badan Usaha Kredit Perdesaan (BUKP). Tujuan utamanya adalah pendalaman finansial dengan memisahkan sistem intermediasi keuangan yang berkelanjutan bagi orang miskin. Adapun contoh LKM dengan pendekatan welfarist antara lain: Kredit Usaha Tani, Kredit Usaha Kecil dan Inpres Desa tertinggal. Program-program tersebut bukan ditujukan bagi tercapainya sustainabilitas kelembagaan keuangan namun lebih ditujukan bagi pengentasan kemiskinan.

3.Peran LKM sebagai Lembaga Perantara Keuangan dan Hubungannya dengan Bank Komersial
Bank komersial dan LKM memiliki peran yang sama, yaitu sebagai lembaga perantara keuangan. Peran LKM lebih spesifik sebagai penyedia jasa keuangan (simpanan dan kredit) khususnya bagi rumahtangga berpendapatan rendah yang tidak mempunyai akses ke bank komersial. Apakah dengan demikian LKM dan bank komersial merupakan substitusi? Masing-masing LKM dan bank komersial mempunyai keunggulan komparatif. Bank komersial dapat menyalurkan pinjaman dalam jumlah yang besar dan jangka waktu relatif lama karena dapat mengumpulkan dana pihak ketiga yang lebih besar dan transformasi maturitas. Pinjaman ke bank komersial lebih ditujukan pada kredit investasi. Bank komersial kurang efisien jika menyalurkan pinjaman mikro dengan jangka waktu pendek. Sebaliknya, LKM memiliki keunggulan dalam penyaluran kredit mikro dan jangka pendek. Kredit mikro ini sifatnya lebih mengarah ke kredit modal kerja. Lembaga Keuangan Mikro juga memiliki fleksibilitas dalam persyaratan kredit, khususnya jaminan. Berdasarkan karakteristiknya masing-masing, LKM dan bank komersial memiliki area pasar yang berbeda. Bank komersial dan LKM dengan dasar tersebut lebih mengarah hubugannya adalah substitusi.
Beberapa studi mengemukakan ternyata, LKM dan bank komersial memiliki hungangan komplementer. Industri skala besar melakukan pinjaman kredit investasi ke bank komersial, dan kredit modal kerja ke LKM. Kredit investasi berdurasi jangka panjang, sehingga lebih tepat pinjam ke bank komersial. Sementara itu, kredit modal kerja berdurasi jangka pendek, sehingga lebih tepat pinjam ke LKM.

4.Dampak LKM terhadap Pembangunan Ekonomi di Negara-Negara sedang Berkembang
Dampak LKM terhadap pembangunan ekonomi dapat diukur dari tiga variabel, yaitu pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan mobilisasi tabungan. Pertama, LKM mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga. Beberapa studi yang dilakukan di negara-negara sedang berkembang menunjukkan hasil yang sama. Dampak LKM terhadap pendapatan rumahtangga atau wirausahawan secara umum positif meskipun besaran kenaikannya beragam. Kredit yang disalurkan LKM pada usaha mikro meningkatkan pendapatan pengusaha mikro yang memanfaatkan kredit tersebut.
Kedua, LKM mampu menciptakan kesempatan kerja. Peran LKM dalam meningkatkan kesempatan kerja sebenarnya lebih pada meningkatnya usaha lama yang dibiayai oleh LKM dan bukan pada usaha baru. Beberapa studi juga mengemukakan hal yang sama, yaitu pada saat bisnis tumbuh. Tumbuhnya bisnis yang dibiayai dengan kredit dari LKM ini meningkatkan penggunaan jumlah tenaga kerja keluarga atau jam kerja pekerja. Studi yang dilakukan di Indonesia bahkan mengemukakan bahwa kredit LKM cenderung mempunyai dampak lebih pada stabilitas pekerjaan dan perbaikan produktivitas tenaga kerja dan bukan menciptakan kesempatan kerja baru. Sementara itu studi di Bangladesh menghasilkan sesuatu yang menarik. Secara keseluruhan kredit Grameen Bank meningkatkan penawaran tenaga kerja wanita namun menurunkan penawaran tenaga kerja laki-laki. Kredit pada wanita meningkatkan penawaran tenaga kerja wanita namun menurunkan penawaran kerja laki-laki, sementara kredit pada laki-laki tidak memiliki pengaruh pada penawaran tenaga kerja wanita.
Ketiga, LKM berhasil melakukan mobilisasi tabungan. Asumsi sebelumnya bahwa rumahtangga perdesaan lebih banyak mengalokasikan pendapatannya untuk konsumsi dan acara seremonial, serta tidak memiliki kapasitas menabung ternyata tidak benar. Beberapa studi di Asia dan Afrika menunjukkan bahwa kapasitas menabung masyarakat perdesaan cukup besar terkait dengan keberadaan pasar keuangan di wilayah tersebut. Studi-studi tersebut juga menunjukkan bahwa LKM sukses dalam memobilisasi tabungan. Sekurang-kurangnya terdapat dua faktor yang mendukung kesuksesan LKM dalam memobilisasi tabungan, yaitu: 1) produk tabungan dan mekanisme tabungan disesuaikan dengan preferensi konsumen; 2) terdapat bukti bahwa lingkungan makroekonomi yang kondusif mendorong suksesnya mobilisasi tabungan oleh LKM.
Dari sudut pandang kelembagaan, mobilisasi tabungan oleh LKM memiliki empat alasan. Pertama, menyediakan sumber pendanaan yang relatif murah untuk dipinjamkan kembali. Kedua, saat ini menjadi penabung, besok bisa menjadi peminjam, sehingga program tabungan menciptakan kumpulan klien alami. Ketiga, peningkatan tabungan memberikan manfaat penting secara langsung bagi rumahtangga dengan pendapatan rendah.
Ada beberapa manfaat mobilisasi tabungan oleh LKM. Pertama, manfaat individual dan usaha. Kedua, manfaat kelompok, organisasi dan kelembagaan. Ketiga, manfaat untuk mengimplementasikan LKM.

5.Benarkah LKM selalu Pro bagi Pengentasan Kemiskinan?
Ada beberapa pertanyaan yang muncul terkait dengan dampak perkembangan LKM dengan pembangunan ekonomi sebagaimana dikemukakan Arsyad (2006). Mengapa lebih banyak LKM diklasifikasikan pendekatan institusionis? Apakah dengan demikian LKM telah berubah dari tujuan utamanya, yaitu menyediakan rumahtangga miskin atau berpenghasilan rendah sumber keuangan yang mudah diakses? Apa bedanya LKM dengan bank komersial jika fungsi LKM sama dengan bank komersial, yaitu hanya sebagai lembaga perantara keuangan dan tidak lagi memiliki fungsi intermediasi sosial? Benarkah LKM pro bagi pengentasan kemiskinan?
Perdebatan mengenai dua kubu pendekatan keuangan mikro yang berbeda, yaitu isntitusionis dan welfarist dibahas lebih mendalam oleh Woller, Dunford, dan Woodworth (1999). Debat tersebut dibahas mereka untuk memecahkan kembali implikasi krusial bagi masa depan keuangan mikro. Pendekatan institusionis menekankan pada financial self-sufficiency dan skala institusional. Pendekatan welfarist menekankan secara langsung dampaknya terhadap pengentasan kemiskinan. Apakah financial self-sufficiency secara umum dapat tercapai? Berbagai studi yang telah dilakukan menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Ketidakberhasilan financial self-sufficiency biasanya dipengaruhi oleh kondisi sosio ekonomi dan terisolasinya masyarakat secara geografis. Tujuan memaksimumkan laba bagi lembaga telah menghambat misi sosial dari LKM. Senantiasa terjadi konflik antara misi sosial dan misi memaksimumkan laba di LKM. Konflik inilah yang menghambat tercapainya financial self-sufficeincy. Demikian juga bukti bahwa LKM mampu membantu mengentaskan kemiskinan masih terlampau awal untuk menyimpulkannya. Sejumlah bukti bahkan menunjukkan ketidakmampuan LKM menjangkau rumahtangga miskin untuk meningkatkan ekonominya. Fakta ini terkait dengan sumberdana yang diperoleh LKM, risiko penyaluran kredit mikro, dan pengelolaan LKM.
LKM sebagai lembaga keuangan yang rasional dihadapkan pada risiko tinggi dalam menyalurkan kreditnya. Tingginya risiko tersebut dikarenakan fleksibilitas persyaratan yang berbeda dengan bank komersial. Pada akhirnya risiko tersebut tercermin dari tingginya suku bunga. Tingginya suku bunga LKM mendorong LKM menyalurkan dananya hanya pada usaha-usaha mikro yang memiliki profit margin tinggi atau rentabilitasnya tinggi. Usaha-usaha dengan profit margin tinggi biasa dijumpai pada sektor perdagangan. Tidak mengherankan jika banyak LKM memiliki klien para pedagang atau beroperasi di pasar. Bahkan Danamon Simpan Pinjam (DSP) membuka kantor di pasar atau dekat pasar supaya lebih mudah dengan kliennya. Sektor pertanian yang marginnya rendah tidak menarik bagi LKM. Siapa lantas yang membantu para petani untuk penyediaan modal usaha tani? Pemerintah dalam hal ini turun tangan dengan mengucurkan berbagai program kredit mikro seperti Kredit Usaha Tani (KUT), BIMAS dan lain-lain. Pemerintah memberikan subsidi para program kredit mikro yang dikucurkannya, sehingga bunga kredit mikro yang dikucurkan pemerintah rendah. Tahun 1970, Bank Rakyat Indonesia Unit diciptakan untuk menerapkan BIMAS, yaitu sebuah program kredit pertanian besar-besaran yang mendapatkan subsidi pemerintah untuk pengolahan padi. Pada umumnya BIMAS memberikan hasil yang negatif bagi para petani, BRI, dan pemerintah. Terdapat beberapa alasan yang saling berkaitan menjelaskan penyebab kegagalan BIMAS (Robinson, 2004):
1)Sasaran-sasaran program yang tidak kompatibel.
2)Suku bunga yang disubsidi mencegah keberlangsungan institusional.
3)BRI tidak diijinkan menyeleksi para peminjam.
4)Kredit terikat berdasarkan jenis-jenis yang telah ditentukan sebelumnya dan jumlah input yang sering kali tidak cocok untuk kondisi lingkungan lokal dan terkadang malah merusak hasil panen.
5)Di banyak daerah, subsidi kredit tersalurkan pada orang-orang yang lebih kaya.
6)Di beberapa daerah, peminjam diseleksi oleh pejabat-pejabat pemerintah demi memenuhi target walaupun tanah peminjam tidak cocok untuk input yang disediakan.
7)Pada beberapa tahun, para petani tidak dapat melunasi pinjaman mereka karena kegagalan panen padi dalam jumlah besar, yang merupakan akibat langsung dari insektisida yang menyebabkan hama menjadi lebih kuat, yang didistribusikan melalui paket BIMAS.
8)Kebijakan pemerintah untuk penjadwalan utang direncanakan dengan buruk dan sering kali penerapannya dirusak oleh praktik korupsi.
9)Struktur organisasional BRI tidak memadai untuk pengawasan BRI Unit yang efektif. Para staf BRI Unit tidak mendapatkan pelatihan yang cukup, digaji rendah, tidak termotivasi, dan biasanya diperlakukan sebagai orang yang terkucil oleh kalangan BRI yang lain.
10)Selain gagal dalam memberikan pinjaman, BRI Unit juga gagal menghimpun simpanan, terutama karena spread suku bunga negatif yang disyaratkan oleh pemerintah.
BIMAS tidak mampu mencapai target-targetnya secara efektif. Program tersebut tidak menjangkau petani miskin secara efektif maupun memberi kontribusi yang signifikan terhadap upaya intensifikasi padi. Tingkat kredit macet BIMAS adalah 54,5 persen.
Kondisi ini membuktikan bahwa tidak selamanya kredit mikro berdampak positif bagi pembangunan. Adakalanya kredit mikro kegagalan karena kesalahan dalam pemilihan target sasaran penerima kredit tersebut. Subsidi pada kredit mikro tidak mendorong adanya insentif bagi LKM untuk sustain baik secara institusional maupun program. Dengan demikian pertanyaan mengapa LKM lebih banyak melakukan pendekatan institusional karena pendekatan ini lebih sustain. Pendekatan istitusional mendorong sustainabilitas LKM dan mengarah ke kredit komersial.
Apa dampaknya bagi rumahtangga miskin atau berpenghasilan rendah jika LKM enggan mengucurkan kreditnya bagi mereka? Mereka akan tetap kesulitan mendapatkan akses sumber keuangan yang murah. LKM enggan mengucurkan dananya pada rumahtangga berpenghasilan rendah ini karena takut risiko kredit macet. LKM dengan demikian lebih memilih pendekatan institusionis. Lantas siapa yang dapat menolong rumahtangga berpenghasilan rendah ini atau mengentaskan mereka dari kemiskinan? Selama ini pemerintahlah yang membantu mereka dengan mengucurkan bantuan seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP).
Melihat kondisi tersebut, tampaknya tidak selamanya benar bahwa LKM pro bagi pengentasan kemiskinan jika orientasi LKM masih pada sebatas fungsi sebagai lembaga perantara keuangan. LKM tidak lagi memiliki manfaat sebagai lembaga perantara sosial dan peran LKM dalam pembangunan ekonomi khsususnya pengentasan kemiskinan dapat dipertanyakan kembali. Klaim bahwa LKM mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga perlu dicermati lebih dalam. LKM selama ini karena bunganya tinggi lebih suka menyalurkan pada usaha profit margin tinggi, diantaranya adalah sektor perdagangan. Dengan demikian tidak mengherankan jika LKM diklaim mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga. Namun perlu ditambahi catatan yaitu rumahtangga yang memang telah mempunyai usaha mikro dengan profit margin tinggi atau rentabilitas tinggi. Bagaimana dengan rumahtangga miskin yang belum memiliki usaha atau usahanya memiliki rentabilitas rendah? Maukah LKM menjamah mereka? Mampukah LKM mengentaskan mereka dari kemiskinan?
Sebenarnya, ada beberapa manfaat kredit mikro bagi pengentasan kemiskinan. Asian Development Bank (ADB) telah mengidentifikasi beberapa manfaat kredit mikro bagi pengentasan kemiskinan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1. Dalam beberapa kesempatan selalu disampaikan manfaat kedit mikro dalam memutus mata rantai kemiskinan. Studi di Bangladesh menunjukkan hasil yang positif, dimana LKM secara`positif meningkatkan pendapatan rumahtangga. Penilaian ADB terhadap tujuh proyek keuangan mikronya menunjukkan hasil yang berbeda, proyek-proyek tersebut gagal untuk membuat kontribusi yang signifikan bagi pengentasan kemiskinan. Beberapa proyek mempunyai dampak positif yang kecil, namun tidak ada mekanisme yang berkelanjutan bagi periode proyek selanjutnya. Pengentasan kemiskinan memerlukan akses terhadap sumber pelayanan keuangan yang berkelanjutan, tidak hanya sekali akses (ADB, 2000).
LKM dikemukakan dalam papernya Arsyad (2006) mampu melakukan mobilisasi tabungan. Klaim ini juga perlu dicermati lebih mendalam, karena terdapat beberapa jenis LKM. LKM selama ini dapat dikelompokkan dalam LKM bank dan non-bank. LKM bank adalah bank-bank komersial yang salah satu unit usahanya adalah turut menyalurkan kredit mikro. Contoh LKM jenis ini adalah Bank Perkreditan Rakyat, BRI Unit Desa, Danamon Simpan Pinjam dan lainnya. Sedangkan LKM non-bank terdiri dari LKM berbadan hukum koperasi dan non-koperasi. Dalam kenyataan, LKM non-bank masih kalah jauh dalam memobilisasi tabungan masyarakat dibandingkan LKM bank. Masyarakat tampaknya masih merasa lebih aman menyimpan dananya di bank (termasuk LKM bank) karena dijamin oleh pemerintah. Berbeda dengan LKM non bank yang tidak dijamin oleh pemerintah. Kondisi infrastruktur dan kelembagaan LKM bank dan LKM non-bank juga berbeda jauh. LKM bank lebih baik infrastrukturnya dan lebih terjaga daripada LKM non-bank. Kondisi saat ini antara LKM dan bank komersial sudah mengarah ke persaingan. Fakta ini kurang disinggung dalam papernya Arsyad (2006) yang hanya menyinggung hubungan LKM dan bank komersial sebatas substitusi atau komplementer. Bank komersial banyak yang telah membuka unit mikro (mikrobanking) untuk melayani segmen usaha mikro. Di Indonesia dapat dilihat dari keberadaan BRI Unit Desa dan Danamon Simpan Pinjam, serta bank-bank komersial lainnya yang membuka unit mikrobanking.
Secara umum bank-bank komersial yang membuka unit mikro ini mendominasi kedit mikro. Lebih dari 50 persen pinjaman disalurkan oleh LKM bank seperti BPR dan BRI Unit. Peran LKM non-bank sebagai lembaga perantara keuangan masih kalah dominan dengan bank komersial yang membuka unit mikro. Dominannya LKM bank ini tidaklah mengherankan karena kapasitas mereka lebih besar dari LKM non bank dalam menyalurkan kredit mikro.
6. Penutup
Dampak LKM terhadap pembangunan ekonomi berdasarkan bukti-bukti yang ada sangat beragam. Keberhasilan LKM dalam membantu pengentasan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja dan mobilisasi tabungan belum sepenuhnya berhasil. Meskipun demikian LKM mampu meningkatkan pendalaman finansial bagi masyarakat perdesaan pada khususnya. Masyarakat perdesaan sekarang lebih mengenal sistem keuangan dan perbankan. Ada dilema bagi LKM antara memaksimumkan profit dengan misi sosial. Keberlanjutan LKM dapat dicapai dengan mengarahkan LKM menuju kredit komersial dan financial self-sufficiency. Namun tuntutan sosial terhadap LKM tidak pernah hilang. Subsidi pemerintah pada satu sisi membantu LKM dalam menjalankan misi sosial, namun di sisi lain menghambat sustainabilitas LKM dan financial self-sufficiency. Perlu strategi pengembangan LKM yang tepat untuk memisahkan antara LKM sebagai entitas bisnis dan entitas sosial. Selama LKM terbebani terus menerus dengan misi sosial, perkembangan LKM menuju LKM yang sustain akan terhambat.


Referensi

Arsyad, Lincolin, “An Assessment of Performance and Sustainability of Microfinance Institution: A Case Study of Village Credit Institutions in Gianyar, Bali, Indonesia”. Thesis Submitted for the Degree of Doctor of Philosophy, Faculty of Social Sciences, Flinders University, Adelaide, Australia, 2005

_______________, “Microfinance Institutions and Economic Development, Evidence from Developing Countries”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 21, No. 3, pp. 236-253, 2006.

Asian Development Bank, Finance for the Poor: Microfinance Development Strategy, 2000.

Fernando, Nimal A., Understanding and Dealing with High Interest Rates on Microcredit, A Note to Policy Makers in the Asia and Pacific Region. Asian Development Bank, May 2006.

Ismawan, Bambang dan Setyo Budiantoro, “Mapping Microfinance in Indonesia”, Jurnal Ekonomi Rakyat, Edisi Maret, 2005.

Khandker, Shahid, ”Does Micro-finance Really Benefit the Poor? Evidence from Bangladesh”. Presented in Asia and Pacific Forum on Poverty: Reforming Policies and Institution for Poverty Reduction, Asian Development Bank, Manila. 5-9 February 2001.

Robinson, Marguerite S., Revolusi Keuangan Mikro. Volume 2: Pelajaran dari Indonesia. Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2004.

Wahyudin, Didin, “Key Succes Factors in Microfinancing”, Paper pada Diskusi Panel Microfinance Revolution: Future Perspective for Indonesian Market, 7 Desember 2004.

Wooler, Gary M., Christopher Dunford, and Warner Woodworth, “Where to Microfinance?” Published in International Journal of Economic Development, Vol. 1, No. 1, pp. 29-64, 1999.

Tidak ada komentar: